Persepsi Salah Mengenai Ilmu Kimia
Persepsi Salah Mengenai Ilmu Kimia
Oleh : Fadly Ryan Wicaksana
Lulus kuliah dari
jurusan kimia murni, akan mendapat gelar Sarjana Sains (S.Si) di belakang nama.
Kimia murni di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berada di bawah Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), bersama sederet ilmu pendidikan
dan eksak lain seperti Pendidikan IPA, Pendidikan Fisika, Pendidikan Biologi,
Pendidikan Matematika, Pendidikan Kimia, Fisika murni, Biologi Murni, Matematika
murni, dan Statistika.
Mendengar
kata kimia, yang terbayang adalah mata kuliah yang sulit, banyak rumus, dan
diktat kuliah setebal bantal. Mahasiswanya terlihat keren dibalut jas
laboratorium berwarna putih, lengkap dengan masker dan sarung tangan. Layaknya
ilmuwan di film-film, mereka sibuk di lab menyampurkan beberapa larutan meracik
sesuatu.
Bahkan,
ada yang berpendapat bahwa ilmu kimia itu akan diajari cara membuat bom. Mendengar
berita pengeboman, kerabat atau saudara refleks bertanya, "Kamu di kampus
diajarin bikin bom gak?" Siapa yang pernah menerima
pertanyaan ini? Mungkin pemahaman seperti ini muncul karena edukasi yang kurang
tepat. Bom atau bahan peledak memang dibuat dari campuran bahan-bahan kimia.
Apalagi di televisi sering muncul tayangan di laboratorium yang sampai
menimbulkan ledakan atau asap. Gak salah memang, karena setiap mahasiswa atau
lulusan kimia pasti tahu bagaimana cara membuat bahan peledak. Tapi bukan
berarti kami berbakat jadi teroris ya! Itulah kenapa ilmu pengetahuan harus
diimbangi dengan budi pekerti yang baik.
Selain
diduga belajar bikin bom, anak kimia kadang mendapat pertanyaan, “Bisa meracik formalin atau
boraks?” Dua bahan pengawet ini sering disalahgunakan pada makanan.
Padahal bisa menyebabkan reaksi berbahaya dalam metabolisme tubuh. Hasil
pengawetan makanan dengan formalin atau boraks memang menguntungkan dari segi
ekonomis. Tapi sangat buruk dampaknya bagi kesehatan. Formalin dan boraks
adalah bahan kimia yang mudah dijumpai di laboratorium penelitian, terutama
formalin. Tapi fungsinya bukan untuk mengawetkan, melainkan sebagai pelarut
saat ekstraksi atau proses lainnya.
Selain
disangka jago bikin bom dan meracik boraks, anak kimia juga akrab dengan
pertanyaan, “Obat
buat penyakit ini apa ya? Bisa meracik obat gak?” Jadi seperti farmasi ya?
Nama obat-obatan memang identik dengan istilah dalam kimia. Tapi bukan berarti
kami, mahasiswa dan lulusan kimia, paham semua khasiat obat atau cara
meraciknya. Dokter yang lebih paham menentukan obat sesuai kondisi pasien.
Membuatkan resepnya lalu apoteker yang meracik sebelum diberikan pada pasien. Lulusan
kimia memang bisa membuat obat, tapi bukan di apotek. Melainkan di industri
farmasi sebagai tim quality control atau RnD (Research
and Development).1 Mereka bertugas mengawasi proses pembuatan,
mengusulkan formulasi baru, hingga menguji kualitas sebelum dipasarkan.1
Lulusan
kimia sering dikira bisa bekerja di apotek. Memang bisa, tapi ada syaratnya.
Gak asal masuk aja setelah lulus sebagai sarjana kimia. Harus mengikuti
pendidikan khusus untuk mendapatkan STRA.2 STRA adalah Surat Tanda
Registrasi Apoteker.2 Kalau sudah mendapat izin ini, barulah bisa
bekerja di apotek sebagai asisten apoteker terlebih dahulu. Jadi, bukan berarti
lulusan kimia gak mau kerja di apotek. Tapi memang ada tahap-tahap yang harus
dilalui sebelum menjadi apoteker.
Kalau
anggapan yang satu ini sudah pasti korban film dan televisi. Kegiatan di
laboratorium kimia digambarkan mengerikan. Muncul asap, buih dari cairan yang
mendidih, dan tim peneliti yang beratribut lengkap. Apakah aslinya memang
begitu? Kalau soal atribut, ya benar. Setiap beraktivitas di laboratorium,
semua orang dianjurkan menggunakan atribut lengkap. Jas laborat, masker, sarung
tangan, dan alas kaki yang tertutup. Hal ini untuk mengantisipasi adanya kontak
langsung dengan zat-zat kimia di sekitar. Tapi tidak semua kegiatan penelitian
di lab seperti yang divisualisasikan di televisi. Tidak selalu ada asap
berbahaya atau perubahan warna yang mencolok.
Sering sekali kita mendengar orang-orang terutama penjual makanan dan minuman yang menyatakan bahwa produknya tanpa bahan kimia atau bebas bahan kimia, juga tertulis diberbagai label produk bahwa semua bahan yang digunakan adalah bahan alami dan tidak mengandung bahan kimia. Sebegitu mengerikankah kimia? Mari kita cermati lebih lanjut.
Semua yang ada di dunia ini
sejatinya tersusun atas unsur kimia, pasti ada kimianya, apapun itu. Contoh
kecil, kita bernafas dengan menghirup oksigen, nah oksigen ini jelas merupakan
unsur kimia. Kemudian penjual (misal es cendol) menuliskan di gerobaknya
"tanpa bahan kimia", apakah memang betul seperti itu? Padahal jika
ditelisik lebih lanjut, komposisi utama dari es cendol yaitu air merupakan
bahan kimia dengan rumus H2O. Persepsi yang salah tentang kimia ini memang
sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Kimia dianggap sebagai momok
menakutkan, yang seolah jika ada kata tersebut bisa menyebabkan bahaya luar
biasa hingga kematian, sehingga harus dihindari. Persepsi yang salah ini juga
banyak disebabkan oleh media yang seolah menganggap kimia adalah pangkal dari
segala permasalahan kesehatan dan mendiskreditkan "kimia".
Kimia yang merujuk pada konotasi
negatif ini perlu diluruskan penggunaan katanya dan diperlukan pemahaman oleh
seluruh lapisan masyarakat. Untuk penggunaan dalam istilah makanan dan minuman
serta obat-obatan herbal, kalimat "tanpa bahan kimia", bisa diganti
dengan "tanpa bahan kimia buatan" maksudnya semua bahan berasal dari
alam alias bukan buatan pabrik atau "tanpa bahan kimia berbahaya"
artinya bahan kimia yang digunakan merupakan bahan kimia yang penggunaanya
diperbolehkan oleh BPOM dengan aturan dan jumlah penggunaan yang tentu saja
sesuai.3
Kimia
tidak selalu berkonotasi negatif. Ilmu kimia sangat bermanfaat bagi kehidupan
sehari-hari. Bahkan, tanpa kimia kita tidak akan bisa hidup. Kenapa bisa
demikian? Karena yang kita hirup juga merupakan bahan kimia yaitu oksigen. Bahkan,
di sekitar kita pasti ada kaitannya dengan kimia. Kimia dapat berdampak negatif
atau positif itu tergantung bagaimana kita memperlakukannya.
Daftar Pustaka
Komentar
Posting Komentar