Pandemi Global Covid-19 dalam Perspektif Ekonomi-Politik
Pandemi Global Covid-19 dalam Perspektif
Ekonomi-Politik
Oleh: Fadly Ryan Wicaksana
Ada hal kecil yang membuat dunia
merasa kerdil
Kesehatan dan ekonomi mejadi dua
hal penting namun sulit bersanding
Aktivitas diduakan, karena bentuk
perjuangan negeri justru berada di rumah sendiri
Menghadapi dengan bijak, bukan
panik tanpa memikirkan orang banyak
Pada
artikel yang saya buat kali ini membahas suatu hal yang tidak kalah penting
dibalik adanya pandemi yang berkaitan dengan ekonomi-politik di Indonesia. Banyak
pembahasan yang dilakukan dalam diskusi dengan Aditya Nurullahi P., S.Hum.
(Tenaga Ahli Anggota Komisi VIII DPR RI) yang diselenggarakan oleh Kulo Klaten,
dan saya rangkum dalam artikel ini. Memberikan gambaran kondisi terkait
ekonomi-politik yang terjadi di negeri tercinta ini dengan masif dan
komprehensif.
Penyebaran wabah Covid-19 di
Indonesia yang semakin ganas memberikan kecemasan kolektif apabila ia
menjangkit terlalu lama di Indonesia. Covid-19 secara perlahan akan menggiring
Indonesia pada potensi krisis di sejumlah lini strategis sehingga tidak menutup
kemungkinan akan membawa Indonesia pada krisis ekonomi yang berbuntut pada
krisis politik.
Salah seorang pengamat pernah
berkata, “…bayang-bayang kematian yang ditimbulkan oleh Covid-19 kepada
seseorang sebenarnya tidak semengerikan dampak jangka panjang yang akan ia
timbulkan pada satu negara…” Hantaman pada sektor ekonomi yang ditimbulkan oleh
Covid-19 begitu keras. Menurut laporan yang dirilis oleh OECD pada Maret 2020,
GDP global diprediksi akan jatuh sebesar 2,4% pada 2020. Bahkan pertumbuhan GDP
riil Indonesia menyusut sebesar 0,2% dimana sebelumnya berkisar di angka 5%.
Masih
menurut laporan yang sama, Cina, sebagai tempat awal persebaran Covid-19
memainkan peran penting dalam ekonomi global.
Secara persentase, industri Cina memberi sumbangsih berkisar 22%
terhadap ekonomi global, kemudian diikuti oleh GDP dan perdagangan global
dimana masing-masing memberikan kontribusi sebesar 17% dan 10%. Selain itu,
Cina dikenal sebagai pusat produksi barang dunia dan telah memberikan
sumbangsih sebesar 12,8% terhadap produksi barang dunia. Alhasil, ketika
produksi barang di Cina terhambat maka akan mempengaruhi suplai terhadap
permintaan global. Jumlah penawaran yang lebih kecil ketimbang permintaan akan
menimbulkan kenaikan harga dari batas wajar.
Dalam
hubungannya dengan Indonesia, Cina memberikan pengaruh signifikan pada sektor
perdagangan, pariwisata, dan komoditas lain. Pada sektor industri misalnya,
Cina merupakan salah satu negara supplier bahan baku terbesar bagi industri
manufaktur di Indonesia. Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Susiwijono menerangkan, hampir 74% bahan baku industri di Indonesia diimpor
dari negeri tirai bambu tersebut. Bahkan, nilai impor baku non-minyak dan gas
dari Cina sejak 2019 mencapai US$ 44,5
juta.
Selain
dari sektor manufaktur, industri pariwisata juga memiliki pengaruh signifikan
terhadap ekonomi Indonesia. Data dari BPS menunjukan kunjungan wisatawan Cina
ke Indonesia selama periode Januari sampai Juni mencapai 1,05 juta orang.
Bahkan, dari jumlah 13,6 juta wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia,
turis Cina menempati posisi kedua terbanyak. Kunjungan mereka setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 2 juta wisatawan dengan total belanja US$1.400 (Rp 19,2
juta) per kunjungan.
Sejak
wabah Covid-19 merebak, angka wisatawan asing dari Cina menurun drastis,
terlebih sejak diberlakukannya travel ban
dari pemerintah Indonesia. Kebijakan ini terpaksa dilakukan sebagai upaya
mitigasi kendati langkah tersebut disesalkan oleh duta besar Cina untuk
Indonesia.
Berdasarkan
keterangan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), sejak
pemberlakuan tersebut diprediksi Indonesia akan kehilangan Rp54,8T dari sektor
pariwisata. Perlu diketahui, pada tutup buku 2018, sektor pariwisata mampu
menyumbang devisa terbesar dengan nilai mencapai US$ 19,2 miliar mengalahkan
sektor migas dimana Bali tercatat sebagai penyumbang terbesar mencapai 40%.
Kehadiran
wabah Covid-19 memberikan dampak secara sistemik terhadap kondisi ekonomi
Indonesia. Terganggunya suplai bahan baku untuk industri manufaktur dari Cina
serta menurunnya jumlah wisatawan akan berdampak krisis pada pemasukan negara.
Meskipun pemerintah telah meluncurkan kebijakan insentif fiskal berupa penghilangan
pajak penghasilan selama 6 bulan ke depan bagi pekerja maupun perusahaan dalam
upaya memelihara daya beli masyarakat. Namun, tidak ada ukuran pasti sejauh
mana kebijakan insentif tersebut mampu bekerja secara efektif. Apalagi, model
kebijakan ini belum tentu dirasakan oleh segmen masyarakat non-urban seperti
petani, nelayan, pengrajin, dan lain-lain.
Warwick
McKibbin dan Roshen Fernando dalam The
Global Macroeconomic Impacts of COVID-19: Seven Scenarios (2020),
memaparkan bagaimana wabah Covid-19 berimbas pada sektor ekonomi secara makro.
Dengan menggunakan model skenario epidemiologis, mereka memaparkan bahwa
penyebaran Covid-19 memberikan pengaruh signifikan pada beberapa lini ekonomi
makro, misalnya anggaran pemerintah untuk infrastruktur kesehatan, permintaan
konsumsi, biaya produksi dari berbagai sektor, dan tenaga kerja.
Lebih
lanjut, realokasi anggaran untuk infrastruktur kesehatan akan berpengaruh pada
anggaran belanja pada sektor lain yang akan dikurangi. Pasokan suplai akan
terganggu sehingga meningkatnya biaya produksi. Biaya produksi meningkat
seiring dengan melonjaknya permintaan namun kapasitas yang terbatas. Hal ini juga dipengaruhi, pemenuhan tenaga
kerja untuk industri yang tidak memadai karena wabah yang melanda pegawai
sehingga berpengaruh pada kapasitas produksi. Lebih lanjut, pandemi Covid-19
pada akhirnya mengakibatkan investasi dan konsumsi anjlok.
Menurut
Fuad Bawazier dalam Virus Corona dan Resesi Ekonomi (2020), dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi 3,64% sampai 3,82% akan banyak sekali terjadi pemutusan
hubungan kerja, angka pengangguran akan meningkat tajam, demikian pula angka
kemiskinan. Sektor konsumsi yang selama ini berkontribusi lebih dari 50% PDB
akan melemah, daya beli masyarakat semakin merosot. Kondisi pertumbuhan ekonomi
tersebut akan menjadi lebih rendah dari kondisi saat terjadinya krisis keuangan
global pada tahun 2009, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,14%.
Nilai
perdagangan barang dan jasa dengan Cina yang mendadak anjlok akibat Corona
membuat pemerintah Indonesia perlu mencari alternatif lain. Tingkat
ketergantungan Indonesia terhadap Cina yang cukup tinggi turut berpengaruh pada
derajat kemandirian ekonomi yang rendah. Wabah perlu segera ditangani dengan
serius sebelum berdampak lebih jauh.
Jika
kita mencermati pola sejarah, krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998
menjadi entry point krisis politik
setelahnya sehingga membuat Soeharto lengser. Tidak menutup kemungkinan juga
jika pola serupa bisa terjadi kembali ketika wabah tidak segera ditangani. Corona
Memicu Instabilitas Politik. Mungkinkah?
Dalam Coronavirus: The Health, Economic and
Geopolitical consequences (2020), John Scott menyampaikan bahwa rakyat akan
membenci pemerintah yang gagal melindungi warga negaranya. Bahkan tidak menutup
kemungkinan bahwa rakyat tidak akan kembali memilih politisi yang gagal dalam
dalam melaksanakan tanggung jawabnya pada pemilu mendatang. Selain itu, Chris
Miller dalam COVID-19 Crisis: Political
and Economic Aftershocks (2020), menambahkan bahwa sejak wabah Covid-19
merebak telah terjadi krisis kepercayaan (Problem
of Trust) warga negara terhadap kekuasaan.
Lebih
lanjut, ia mencontohkan sejumlah kepala negara seperti Moon Jae In (Korea
Selatan), Shinzo Abe (Jepang), dan Donald Trump (AS) memperoleh banjir kritik
atas ketidakmampuan mereka menangani virus dan membiarkan korban terjangkit
terus bertambah.
Melansir
dari New York Times (10/3/2020), muncul spekulasi yang menguat bahwa besar
kemungkinan Perdana Menteri Shinzo Abe “didepak” lebih awal dari kekuasaan
sebelum masa jabatannya berakhir dikarenakan kinerja pemerintah Jepang di bawah
kepemimpinannya yang dinilai tidak maksimal dalam pencegahan serta penanganan
wabah COVID-19 sehingga menyebabkan 639 warganya terinfeksi disusul 15 kasus
kematian. Masih menurut Chris, bayang-bayang kejatuhan politik tidak hanya
menghantui Shinzo Abe tetapi juga menghantui Donald Trump dan Moon Jae In.
Chris
menerangkan, kesempatan Trump untuk memenangkan pilpres di periode mendatang
bahkan diprediksi semakin mengecil jika COVID-19 terus memberikan dampak pada
perlambatan ekonomi bahkan resesi bagi Amerika. Sebagai informasi, per 12 Maret
2020 jumlah kasus pasien yang terinfeksi di negeri Paman Sam ini berjumlah
1.327 dengan jumlah kematian 38 jiwa.
Nasib
lebih sial bahkan menimpa Moon. Semenjak Korea Selatan (Korsel) ditetapkan
sebagai negara dengan infeksi terbanyak setelah Cina, ratusan ribu warga Korsel
menandatangani petisi agar Moon segera turun dari kursi Perdana Menteri. Protes
warga tersebut cukup beralasan mengingat sampai hari ini jumlah kematian akibat
kasus Covid-19 di Korea Selatan bertambah menjadi 66 jiwa dengan total pasien
terinfeksi sebanyak 7.869 kasus per 12 Maret. Namun, pemerintah Korea Selatan
terus berbenah sehingga secara perlahan berhasil menekan angka penularan dan
meningkatkan angka pasien yang sembuh.
Jika
berkaca pada fenomena global tersebut, Covid-19 tidak bisa hanya dimaknai
sebagai wabah penyakit global. Dalam konteks politik, Covid-19 adalah bencana
politik yang tercipta secara alamiah atau by
nature untuk menguji tingkat kepercayaan publik terhadap pemangku
kekuasaan. Keterbukaan dan sikap responsif pemerintah akan membantu publik
untuk berhenti berspekulasi di tengah keadaan yang dinamis tersebut.
Efektivitas pemerintah dalam merespon ancaman pandemi ini akan menunjukan
sejauh mana simpati publik pada kekuasaan terus terpelihara. Hal tersebut bisa
dilakukan dengan meningkatkan kinerja pemerintah, pusat maupun daerah, dalam
penanganan dan pencegahan penularan penyakit agar tidak meluas, dalam konteks
geografis maupun dampak multidimensi (ekonomi, politik, sosial).
Bukan
hal yang muskil ketika keresahan politik yang terjadi di tengah masyarakat
negara-negara tersebut turut ditularkan juga kepada masyarakat Indonesia.
Kekuasaan akan semakin diguncang secara alamiah. Legitimasinya mulai
dipertanyakan. Apalagi, beberapa isu politik nasional dalam beberapa hari terakhir
semakin mempertajam indikasi ke arah tersebut.
Pertama,
wacana reshuffle kabinet. Isu ini
cukup santer diberitakan pada akhir Februari lalu. Sejumlah pengamat menilai
bahwa kemunculan wacana ini sebelum genap satu tahun masa pemerintahan Jokowi
mengindikasikan ada yang tidak beres dengan “dapur” istana. Hal ini juga
diperkuat dengan sikap “gerah” Presiden terhadap Menteri Kesehatan dalam
merespon Covid-19 sehingga harus menunjuk Ahmad Yurianto, Dirjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, sebagai jubir resmi pemerintah
untuk penanganan kasus Corona. Aroma ketidakharmonisan justru semakin kentara
di tengah situasi genting. Publik akhirnya semakin liar berspekulasi seraya
mempertanyakan sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi Covid
19.
Kedua,
gerakan masyarakat sipil semakin solid dan berkesinambungan. Vincent Durac,
dalam Protest Movement and Political
Change (2013), menyampaikan bahwa tertutupnya sistem politik (pengaruh
oligarki) disertai dengan tekanan kondisi sosial ekonomi di masyarakat
mendorong tuntutan yang lebih kuat dari masyarakat untuk bergantinya kekuasaan.
Ia menambahkan, gerakan massa tersebut biasanya bersifat informal, menggunakan
perangkat komunikasi yang baru, dan memiliki watak ofensif kepada aparatur
negara.
Riak-riak
protes masyarakat terhadap kekuasaan sebenarnya telah tumbuh secara sporadis di
beberapa daerah. Gerakan mahasiswa #ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu tidak
bisa dimaknai sebagai klimaks semata. Justru, ia adalah sumbu awal yang menyemai
benih-benih protes selanjutnya. Masyarakat semakin cerdas politik sehingga
mereka lebih kritis pada isu yang menyangkut hajat hidup mereka. Hal tersebut
terbukti dari banyaknya demonstrasi akhir-akhir ini yang diinisiasi oleh
aliansi masyarakat sipil untuk menolak RUU Omnibus Law. Meskipun terjadi secara
sporadis di sejumlah daerah, aksi-aksi dengan mengusung narasi yang sama ini
menandakan bahwa terjadi kemerosotan public
trust terhadap kekuasaan. Fenomena protes menolak RUU Omnibus Law
mencerminkan sinisme publik dalam melihat kinerja pemerintah yang mulai
mengkhawatirkan bahkan sebelum genap satu tahun berkuasa. Hal ini perlu
mendapat perhatian dan ditanggapi lebih cermat agar public trust terhadap
pemerintah bisa tetap terpelihara hingga akhir periode kekuasaan.
Segala
prediksi yang penulis ungkapkan di atas sifatnya masih spekulatif dengan
melihat data dan pola-pola yang terjadi di masyarakat maupun realitas global
yang terjadi saat ini. Arnold Toynbee, seorang sejarawan terkemuka memandang
bahwa sejarah bergerak seperti siklus. Ia akan terulang melalui pola-pola yang
sama kendati dalam rentang waktu dan pelaku yang berbeda. Ia menambahkan,
kemajuan dan kemunduran sebuah masyarakat dalam sebuah peradaban ditentukan
dari cara mereka merespon tantangan.
Kita
selalu berharap bahwa kesiapan maupun sikap kita dalam menghadapi pandemi Covid
19 tidak diperkeruh oleh isu politik. Pemerintah pusat tidak perlu menaruh
kecurigaan politis dengan pemerintah daerah yang mengambil tindakan inisiatif
lebih awal. Pemerintah daerah juga perlu mengedepankan koordinasi yang baik di
awal dengan pemerintah pusat sebelum mengambil kebijakan strategis di wilayah.
Agar bisa saling sinergis dan tidak saling curiga.
Keselamatan
dan perlindungan terhadap warga negara perlu diutamakan. Kepercayaan publik
pada kekuasaan akan terpelihara dengan sendirinya seiring dengan kehadiran
negara di tengah mereka. Segala kebijakan yang berorientasi pada kemanusiaan
pada akhirnya akan menciptakan keselamatan bagi sebuah negara. Dalam situasi
krisis ini, respon yang tepat dari pemerintah akan menghasilkan kemaslahatan
rakyat, bangsa, dan negara.
QNA bersama Aditya Nurullahi P., S.Hum. (Tenaga Ahli Anggota Komisi VIII DPR RI)!
1.
Nilai rupiah
telah jatuh hampir menyentuh angka Rp17.000 pada hari ini. Untuk itu apa
kira-kira kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah untuk menstabilkan nilai
rupiah?
Ø Segera tekan angka penyebaran. Jika wabah berhasil
ditangani dengan baik akan memberi pengaruh pada perputaran roda ekonomi di
akar rumput. Investor juga akan kembali.
2.
Harga alat alat
medis yg diperlukan dalam pencegahan Covid-19 (masker, handsanitizer, sabun cuci tangan, dsb) sekarang ini langka di
pasaran dan banyak pihak-pihak yang menjual barang tersebut dengan harga mahal
dan memanfaatkan kepanikan masyarakat. Memang benar hal tersebut sesuai hukum
permintaan jika permintaan meningkat maka harga meningkat. Untuk itu bagaimana
cara agar barang-barang tersebut kembali normal? Apakah dapat dibenarkan alat
kesehatan dijadikan bahan permainan (sekaligus mempermainkan kesehatan)
seolah-olah sehat mahal harganya?
Ø Jelas tidak dibenarkan melakukan permainan harga. Oleh
karena itu pihak kepolisian segera bertindak dengan melakukan operasi khusus
untuk menindak para penimbun dan penyelundup, ini perlu diapresiasi. Pemerintah
juga baru-baru ini menerima hibah dari Jack Ma dan pemerintah Cina untuk
kebutuhan logistik tenaga medis.
3.
Indonesia sedang
menggalakkan work from home dan social distance saat ini. Kira-kira bagaimana
risk and benefit atas kebijakan
tersebut, dan siapa pihak yg diuntungkan dan dirugikan atas kebijakan tersebut?
Ø Terkait kebijakan social distancing sebenarnya telah diatur oleh konstitusi. Pertama,
UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan pasal 15 ayat 2 poin (b);
“Tindakan kekarantinaan sebagaimana dimaksud pada ayat satu berupa pembatasan
sosial berskala besar” (amanah secara kelembagaan).
Ø Kedua, berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 pasal 10
disebutkan bahwa setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam
upaya memperoleh lingkungan sehat baik fisik, biologi, maupun sosial. (amanah
secara individu).
Ø Social
distancing menjadi hal sulit
karena pertimbangan ekonomi. Khususnya, bagi segmen pekerja nonformal. Sehingga
wajar jika di episentrum corona di Indonesia, Jakarta, kita masih sering
menemukan kerumunan, rata-rata mereka adalah pekerja dengan penghasilan di bawah
UMR. Mereka inilah yang perlu dipelihara kebutuhan ekonominya agar mereka tetap
bisa tinggal di rumah sehingga bisa mengurangi suplai pasien ke rumah sakit.
Ø Dalam UU No 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan
Bab 3 pasal 8, “Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar
medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama
karantina”; Pasal 6, “Pusat dan daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan
sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantiaan kesehatan.”
Pertanyaannya adalah sejauh mana pemerintah sudah memenuhi amanah konstitusi
tersebut?
Ø Dalam perspektif pekerja, WFH lebih menguntungkan
mereka yang bisa melakukan dari jarak jauh. PNS, Arsitek, tenaga ahli, dll.
Sedangkan untuk mereka yang bekerja di sektor manufaktur sangat sulit. Buruh dan pekerjaan yang memang
harus dilakukan on site. Jika tidak
ada pekerja, pabrik akan berhenti produksi dan merugi. Tapi dari fenomena WFH
akhirnya kita sadar bahwa beberapa profesi bisa dilakukan di rumah. Jelas ini
langkah efisiensi yang bisa punya pengaruh untuk mengurangi kemacetan.
4.
Apakah
memungkinkan jika Indonesia melakukan lockdown?
Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia? Terutama pada sektor perekonomiannya.
Bagaimana dampaknya terhadap pedagang kecil dan pedagang pasar? Kebijakan apa
yang sekiranya tepat?
Ø Jelas pertimbangan ekonomi menjadi aspek
fundamental. Korea dan Italia berani melakukan lockdown karena mereka memiliki devisa yang cukup untuk me-cover anggaran belanja selama wabah
berlangsung. Sedangkan Indonesia tidak memiliki kapasitas tersebut. Jika lockdown dilakukan, para pedagang di
pasar akan mengalami kesulitan, bahkan kelangkaan memperoleh suplai barang dari
luar sehingga berpengaruh pada peningkatan harga. Lantas apakah daya beli masyarakat
cukup memadai menghadapi hal itu? Sejauh ini yang bisa dilakukan adalah ikuti
dulu anjuran pemerintah untuk melakukan social
distancing. Sebab ini kuncinya. Wabah yang mereda akan menggairahkan
kembali roda ekonomi di masyarakat.
5.
Menangapi isu yang
beredar bahwa pemilu akan dijalankan ditengah situasi indonesia yang sedang
berada di dalam virus corona. Padahal corona menular melalui kontak langsung,
sedangkan pemilu harus ada kontak langsung. Pertanyaannya apakah kita harus tetap
menjaga diri di rumah untuk menghindari covid 19 ataukah kita harus
menyampaikan aspirasi kita untuk memilih?
Ø Berdasarkan kabar dari teman-teman KPU, jika wabah
tidak menunjukan penurunan akan ada penundaan sampai kondisi membaik. Atau
paling mungkin adalah melakukan e-vote. Namun, kembali perlu ditanyakan,
anggaran memadai atau tidak? Bahkan masa sidang di DPR pun turut diundur, dan
beberapa agenda strategis di kementerian turut diundur.
6.
Mungkinkah kasus
pandemi global dapat diselesaikan dengan kerja sama? Jika kerja sama, bagaimana
posisi tawar negara berkembang seperti Indonesia? Apakah dengan kerja sama
Indonesia menjadi ketergantungan dengan negara lain?
Ø Pasal 12, “Dalam hal Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat merupakan kejadian yang meresahkan dunia, Pemerintah Pusat
memberitahukan kepada pihak internasional sesuai dengan ketentuan hukum internasional.”
Pasal 13 (1), “Pada kejadian Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan
dunia, Pemerintah pusat melakukan komunikasi, koordinasi, dan kerja sama dengan
negara lain dan/atau organisasi internasional.” Pasal 13 (2), “Komunikasi,
koordinasi, dan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengidentifikasi
penyebab, gejala dan tanda, faktor yang mempengaruhi, dan dampak yang
ditimbulkan, serta tindakan yang harus dilakukan.” Sebagai acuan, kita bisa
lihat UU No 16 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan seperti pasal di atas.
Ø Bahkan WHO mendorong setiap negara untuk saling
membantu dalam melawan musuh umat manusia ini. Cina bahkan mulai membantu
sejumlah Italia dan Persia. Bahkan pada 12 Februari lalu Presiden Xi Jinping
melakukan sambungan telepon ke Gedung Putih untuk meminta bantuan AS. Padahal
mereka tengah perang dagang. Ketika kasus kematian di Cina sedang
tinggi-tingginnya, selama Indonesia belum memiliki daya riset yang memadai
bahkan berdikari secara ekonomi, tingkat ketergantungan kita akan tetap tinggi.
7.
Bagaimana upaya
yang telah dilakukan negara untuk memelihara ekonomi dari warga yang kerjanya
tidak bisa dari rumah, yang katanya UMRnya kecil, udah dikasih apa?
Ø Dalam UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Karantina
Kesehatan Bab 3 pasal 8, “Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan
dasar medis, kebutuhan pangan, dan
kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina” Pasal 6, “Pusat dan
daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan
dalam penyelenggaraan kekarantianaan kesehatan”
Ø Sejauh saya pribadi baru melihat inisiasi yang
justru dilakukan oleh masyarakat melalui penggalangan dana untuk diberikan kepada
mereka yang bekerja di sektor informal. Saya belum mendapati semacam bantuan
pangan murah atau sejenisnya dari pemerintah bagi mereka yang social distancing, khususnya segmen
pekerja informal.
Komentar
Posting Komentar